Lana Del Rey selalu berhasil menyampaikan luka dengan cara yang anggun. Dalam Lust for Life (2017), ia tetap mempertahankan nuansa melankolis, tetapi kali ini ia menyelipkan senyum samar di antara baris-baris lagunya. Ia tidak hanya menatap masa lalu dengan pilu, tetapi juga menatap masa depan dengan harapan. Lewat album ini, Lana membiarkan pendengarnya melihat isi hatinya yang lebih terbuka, reflektif, dan siap menerima perubahan.
Lana menggunakan lagu Love untuk menyapa pendengarnya yang masih muda dan penuh kebimbangan. Ia menulis lagu itu sebagai pengingat bahwa rasa cinta dan harapan tetap penting, meski dunia terasa tidak pasti. Dengan suara lembut dan lirik sederhana, ia menguatkan siapa pun yang mendengarnya.
Ia juga mengekspresikan sisi spiritual dan politik dalam lagu seperti When the World Was at War We Kept Dancing. Di lagu itu, situs medusa88 Lana tidak mengajak perang; ia mengajak bertahan lewat tarian, musik, dan cinta. Ia menghadirkan simbol ketenangan di tengah kekacauan, menunjukkan bahwa kepekaan bisa menjadi bentuk perlawanan.
Dalam Cherry dan 13 Beaches, Lana mengungkapkan kerinduan yang lebih personal. Ia bicara soal kesepian, pencarian makna, dan kebutuhan untuk mencintai tanpa harus kehilangan diri sendiri. Ia menyuarakan isi hati dengan jujur, tanpa drama berlebihan, dan itulah yang membuat lagunya terasa nyata.
Lana Del Rey tidak menghapus kesedihannya dalam Lust for Life—ia justru menatanya dengan rapi dan menyelipkan seberkas senyum. Ia membuktikan bahwa melankolia tidak selalu berarti lemah, dan bahwa menerima rasa sakit bisa menjadi awal dari pemulihan. Dalam diam, ia bicara. Dalam senyumnya yang melankolis, ia membuka hatinya sepenuhnya.