risingtideproject.org

risingtideproject.org – Dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan dominasinya atas rupiah Indonesia, dengan nilai tukar baru-baru ini menembus Rp 16.400. Kekuatan mata uang AS ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pengamat ekonomi mengenai dampaknya terhadap ekonomi Indonesia, terutama dalam hal kenaikan harga barang impor.

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), mengungkapkan bahwa pelemahan rupiah akan meningkatkan harga barang impor, yang berakibat pada peningkatan biaya ekonomi bagi konsumen domestik. Faisal menekankan bahwa “Ini akan mempengaruhi tidak hanya konsumen, tetapi juga industri yang bergantung pada impor bahan baku.”

Sementara itu, Nailul Huda, Direktur Ekonomi di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengamati bahwa penguatan Dolar AS akan menyebabkan lonjakan harga barang di Indonesia, termasuk bahan bakar minyak (BBM). Mengingat Indonesia adalah pengimpor minyak dan BBM, kenaikan harga minyak internasional dan kuatnya Dolar AS menyebabkan tekanan inflasi dari luar negeri, yang biasanya mengakibatkan peningkatan harga BBM domestik.

Nailul Huda menambahkan, “Inflasi impor meningkat, dan biasanya BBM menjadi korban pertama dengan kenaikan harga.” Hal ini, menurutnya, akan mengikis daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, serta berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan.

Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menyatakan bahwa pelemahan rupiah memiliki implikasi serius terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan belanja pemerintah, terutama dalam postur energi dan pertahanan, menjadi lebih mahal. Ia juga mengindikasikan bahwa pembayaran utang luar negeri menjadi lebih mahal, yang berdampak pada penyempitan ruang fiskal.

Dalam konteks lebih luas, Gubernur Bank Indonesia, Perry, menegaskan bahwa meskipun rupiah melemah terhadap Dolar AS, mata uang ini masih lebih stabil dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain seperti Won Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand, dan Yen Jepang. Perry menyatakan bahwa Bank Indonesia terus berupaya stabilisasi nilai tukar melalui berbagai langkah seperti intervensi pasar, menarik investasi portofolio asing, dan mengoptimalkan devisa hasil ekspor.

Presiden Joko Widodo pun menyatakan kekhawatiran atas kenaikan nilai tukar Dolar AS, menyebutkan bahwa lonjakan di atas Rp 16.200 membuatnya “ketar-ketir”. Ini menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi terhadap potensi dampak ekonomi lebih lanjut jika rupiah terus melemah terhadap Dolar AS.