risingtideproject.org

risingtideproject.org – Keluarga korban dari dua tragedi kecelakaan pesawat Boeing 737 Max telah mendesak Departemen Kehakiman Amerika Serikat untuk menjatuhkan denda yang signifikan terhadap Boeing, sejumlah US$24,78 miliar, atau setara dengan Rp407,79 triliun (mengacu pada kurs Rp16.456 per dolar AS). Permintaan denda ini mencerminkan tanggapan terhadap tragedi yang melibatkan penerbangan Lion Air JT610 di Karawang pada Oktober 2018.

Paul Cassel, pengacara yang mewakili 15 keluarga dari korban kecelakaan, dalam suratnya kepada Departemen Kehakiman AS menyatakan, “Mengingat tingkat keseriusan kejahatan korporasi oleh Boeing, denda maksimum lebih dari US$24 miliar adalah secara hukum dapat dibenarkan dan merupakan langkah yang wajar.” Surat ini dikirim pada tanggal 19 Juni, seperti dilaporkan oleh Reuters.

Menurut laporan, Departemen Kehakiman AS juga dipertimbangkan untuk mengenakan denda tambahan antara US$14 miliar hingga US$22 miliar, dengan syarat bahwa Boeing akan mengalokasikan dana tersebut untuk pengawasan korporat independen serta perbaikan dalam kepatuhan dan standar keselamatan.

Sebelumnya, pada tahun 2021, Boeing telah terbukti melanggar perjanjian penuntutan yang ditunda, yang seharusnya melindungi perusahaan dari tuntutan pidana terkait dengan konspirasi untuk melakukan penipuan yang berkaitan dengan kecelakaan Lion Air dan Ethiopian Airlines pada 2019, yang secara total menewaskan 346 orang.

Baru-baru ini, Boeing berargumen kepada pemerintah bahwa mereka tidak melanggar perjanjian tersebut. Namun, jaksa federal memiliki tenggat waktu hingga 7 Juli 2024 untuk menginformasikan kepada hakim federal di Texas tentang rencana mereka, baik itu melanjutkan kasus kriminal atau negosiasi kesepakatan pengakuan bersalah dengan Boeing.

Penemuan bahwa Boeing melanggar perjanjian penuntutan terungkap setelah sebuah panel melakukan penerbangan dengan jet Boeing 737 MAX 9 milik Alaska Airlines pada 5 Januari, hanya dua hari sebelum perjanjian berakhir pada tahun 2021. Insiden ini menyoroti masalah berkelanjutan terkait keselamatan dan kualitas di Boeing.

Selain itu, keluarga korban juga menyerukan agar dewan direksi Boeing bertemu dengan mereka dan meminta Departemen Kehakiman untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pejabat perusahaan yang bertanggung jawab selama terjadinya dua kecelakaan tersebut. Senator Richard Blumenthal, mengomentari situasi tersebut, menunjukkan bahwa bukti yang ada menurut pengalamannya sebagai mantan jaksa cukup kuat untuk menjatuhkan tuntutan.

Kedua kecelakaan yang melibatkan Boeing 737 MAX pada 2018 dan 2019 di Indonesia dan Ethiopia menyebabkan pesawat paling laris di dunia itu dilarang terbang secara global selama 20 bulan. Kecelakaan tersebut dikaitkan dengan sistem kontrol penerbangan yang dikenal sebagai MCAS, yang telah menjadi pusat dari banyak kritik pasca-kecelakaan.